Wednesday, August 31, 2016

MAKALAH MODEL- MODEL PEMBELAJARAN

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN


Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Belajar Dan Pembelajaran Yang Diampu Oleh Dr. Irwanto, M.Pd.
Oleh :
Muhammad Rahmi (13512045)
clip_image0022D
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) GARUT
2014
KATA PENGANTAR
              Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan berbagai karunia dan nikmat yang tiada tara kepada seluruh mahlukNya terutama manusia. Demikian pula salam dan shalawat kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW yang merupakan panutan kita semua sampai akhir zaman. Dengan keyakinan itu penulis dapat menyelesaikan kewajiban akademik dalam mata kuliah Belajar dan Pembelajaran.
             Salah satu persyaratan akademik yang dilaksanakan oleh STKIP Garut untuk mewujudkan guru profesional, dalam mata kuliah Belajar dan Pembelajaran, diwajibkan untuk membuat tugas dengan judul “Model Pembelajaran”.
             Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu dengan senang hati penulis mengharapkan saran dan kritik untuk membangun demi kesempurnaan laporan ini di kemudian hari.
              Akhir kata penulis berharap agar laporan ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Semoga segala jerih payah kita bernilai ibadah disisi Allah SWT, amin.
Garut, 24 Oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................... 1
Daftar Isi ..............................................................................................................…. 2
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................…… 3
BAB II PEMBAHASAN .....................................................................................…….4
1. Model Pembelajaran Kontekstual ...........................................................…… 4
2. Model Pembelajaran Kooperatif.............................................................…… 15
3. Model Pembelajaran Kontruktivisme ....................................................…… 18
4. Model Pembelajaran Basis Masalah ......................................................…. 26
BAB III PENUTUP ……................................................................................…….. 36
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................…… 37










BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
              Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Dalam membelajarkan matematika kepada siswa, apabila guru masih menggunakan paradigma pembelajaran lama dalam arti komunikasi dalam pembelajaran matematika cenderung berlangsung satu arah umumnya dari guru ke siswa, guru lebih mendominasi pembelajaran maka pembelajaran cenderung monoton sehingga mengakibatkan peserta didik (siswa) merasa jenuh dan tersiksa. Oleh karena itu dalam membelajarkan matematika kepada siswa, guru hendaknya lebih memilih berbagai variasi pendekatan, strategi, metode yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan pembelajaran yang direncanakan akan tercapai. Perlu diketahui bahwa baik atau tidaknya suatu pemilihan model pembelajaran akan tergantung tujuan pembelajarannya, kesesuaian dengan materi pembelajaran, tingkat perkembangan peserta didik (siswa), kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran serta mengoptimalkan sumber-sumber belajar yang ada.
B. Tujuan
            Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan para pembaca, khususnya para mahasiswa jurusan matematika, STKIP Garut agar nantinya dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dan materi pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. Model Pembelajaran Kontekstual
A. Pembelajaran Kontekstual
             Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
             Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
             Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. 

B. Pemikiran tentang belajar
              Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.
1. Proses belajar
              Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan di benak mereka. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan. Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang.
  1. Transfer Belajar
             Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain. Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit) Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
  1. Siswa sebagai Pembelajar
             Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru. Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting. Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui. Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
  1. Pentingnya Lingkungan Belajar
            Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan. Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting. 

C. Hakekat Pembelajaran Kontekstual
            Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).
               Secara hakiki model pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning adalah : (1) Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya, (2) Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
              Perlu kita ketengahkan pula bagaimana perbedaan model pembelajaran kontekstual dengan model pembelajaran tradisional. Kalau model pembelajaran kontekstual penekanan pembelajarannya lebih kepada: (1) Menyandarkan pada pemahaman makna, (2) Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa, (3) Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, (4) Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan, (5) Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, (6) Cenderung mengintegrasikan beberapa bi-dang, (7) Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok), (8) Perilaku dibangun atas kesadaran diri, (9) Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman, (10) Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri. yang bersifat subyektif, (11) Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut merugikan, (12) Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik, (13) Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting, (14) Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.
              Demikian pula kalau kita me-ngetengahkan model pembelajaran tradisional, maka ada beberapa penekanan, diantaranya (1) Menyandarkan pada hapalan, (2) Pemilihan informasi lebih banyak ditentukan oleh guru, (3) Siswa secara pasif menerima informasi, khususnya dari guru, (4) Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis, tidak bersandar pada realitas kehidupan, (5) Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan, (6) Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu, (7) Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan (kerja individual), (8) Perilaku dibangun atas kebiasaan, (9) Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan, (10) Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai rapor, (11) Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman, (12) Perilaku baik berdasarkan motivasi entrinsik, (13) Pembelajaran terjadi hanya terjadi di dalam ruangan kelas, dan (14) Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.
             Perbedaan dari model pembelajaran kontelstual dengan model pembelajaran tradisional sama banyaknya, akan tetapi kalau kita kaitkan dengan pembelajaran yang berorientasi kepada aktivitas, kreativitas, suasana menyenangkan, dan pembelajaran siswa aktif, maka tentunya model pembelajaran kontekstuallah yang paling tepat digunakan.
             Pembelajaran model tradisional tidak mungkin kita hilangkan dari suatu proses pembelajaran, karena untuk menyatukan persepsi dan penjelasan masalah yang akan dikerjakan oleh siswa, tentulah model tradisional misalnya model ceramah awal dahulu dilakukan. Dengan model ini siswa dapat memahami dan mengetahui konsep dan masalah yang akan dilakukan, dan tentunya waktu yang digunakan tidak lebih dari 20 menit. Kemudian barulah model pembelajaran kontekstual dilakukan oleh siswa di lapangan, karena hakikinya pembelajaran kontekstual lebih banyak dilakukan di luar kelas. 

D. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
            Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
             Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. 

E. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional
1. Kontekstual
  • Menyandarkan pada pemahaman makna.
  • Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa.
  • Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
  • Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan.
  • Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
  • Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang.
  • Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok).
  • Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
  • Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
  • Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri. yang bersifat subyektif.
  • Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut merugikan.
  • Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik.
  • Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting.
  • Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.
2. Tradisional
  • Menyandarkan pada hapalan
  • Pemilihan informasi lebih banyak ditentukan oleh guru
  • Siswa secara pasif menerima informasi, khususnya dari guru.
  • Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis, tidak bersandar pada realitas kehidupan.
  • Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan.
  • Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu.
  • Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan (kerja individual).
  • Perilaku dibangun atas kebiasaan.
  • Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.
  • Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai rapor.
  • Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman.
  • Perilaku baik berdasarkan motivasi entrinsik.
  • Pembelajaran terjadi hanya terjadi di dalam ruangan kelas.
  • Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.
F. Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas
           Bahwa untuk mencapai hasil proses pembelajaran maksimal, berbagai pendekatan dilakukan oleh guru. Hal ini memungkinkan sebab sebenarnya pendekatan CTL merupakan metode pembelajaran yang fleksibel. Berbagai kondisi dapat ditangani dengan menerapkan CTL sebagai metodenya.
          Pendekatan CTL sendiri terdiri atas 7 (tujuh) point utama, yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian yang sebenarnya. Dan, dari 7 (tujuh) langkah penerapan tersebut, maka kita dapat menganalisa tingkat signifikansi metode dengan hasil yang dicapai.
          Pada kesempatan ini, kita mencoba untuk menganalisa salah satu langkah penerapan CTL, yaitu konstruktivisme.
           Konstruktivisme merupakan langkah pendekatan dalam proses pembelajaran yang menekankan pada upaya memberikan kesempatan seluasnya kepada siswa untuk bekerja sendiri dengan menemukan sendiri hal-hal yang harus dipelajari dan selanjutnya dari penemuan tersebut, maka siswa dapat membangun atau mengkonstruksi kemampuan dirinya. Jika kita memberikan kesempatan pada siswa untuk membangun kebiasaan untuk memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya dan terus berusaha untuk melahirkan ide-ide baru agar dapat menjadi milik mereka. Dengan kesempatan yang kita berikan, maka proses membangun kompetensi diri dapat terjadi secara maksimal. Apalagi jika dikaitkan dengan konsep bahwa guru adalah fasilitas pembel-ajaran, maka peranan guru hanyalah terbatas pada memfasilitasi hal-hal yang dibutuhkan siswa dalam proses belajarnya. Kita tidak berhak mencetak siswa sebagaimana keinginan kita, melainkan memberikan kesempatan seluasnya pada siswa untuk mengkonstruksi kondisi dirinya, khususnya terkait dengan hasil pemelajaran.
            Dalam pada itu konsep pembelajaran yang kita kenal, yaitu learning by doing benar-benar dapat kita terapkan. Siswa diarahkan untuk secara langsung mengalami apa-pun yang ingin dimilikinya. Tentunya, hasil pemelajaran akan sangat bermakna dan memberi pengalaman belajar positif bagi siswa.
            Sementara kita menyadari bahwa hal terpenting yang kita inginkan dari proses pemelajaran adalah pengalaman langsung yang diperoleh siswa pada saat mereka ingin menguasai sebuah kemampuan. Dengan demikian, maka eksistensi pengalaman tersebut akan melekat di diri siswa dan menjadikannya sebagaisesuatu yang sangat berharga. Seperti kita ketahui, jika kita memiliki sesuatu yang berasal dari perjuangan kita sendiri untuk perwujudannya merupakan sesuatu yang sangat istimewa dan tetap teringat sepanjang masa.
            Hal seperti itulah yang sebenarnya diharapkan dari penerapan langkah konstruk-tivisme dalam proses pembelajaran. Bahwa siswa harus mampu membangun pengalaman belajar berdasarkan pengalaman langsung. Dan yang terpenting adalah kesesuaian pengalaman belajar dengan kebutuhan siswa.
G. Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual
Ø Konstruktivisme
Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal. Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
Ø Inquiry
Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.
Ø Questioning (Bertanya)
Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.
Ø Learning Community (Masyarakat Belajar)
Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar. Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
Ø Modeling (Pemodelan)
Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar. Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya.
Ø Reflection ( Refleksi)
Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari. Mencatat apa yang telah dipelajari. Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok.
Ø Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya)
Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa. Penilaian produk (kinerja). Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual. 

H. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
            Dalam bagian berikut akan disampaikan beberapa karakteristik pembelajaran kontekstual yang dikemukakan beberapa ahli. Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama dalam system pembelajaran Kontekstual, seperti dalam rincian berikut:
  1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang belajar sambil berbuat (learning by doing).
  2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis atau anggota masyarakat.
  3. Belajar yang diatur sendiri (sell-regulated learning). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada hubungan dengan penentuan pilihan, dan ada produknya.
  4. Bekerja sama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok.
  5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, memcahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti.
  6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara pribadinya.
  7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya.
  8. Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Pendapat lainnya yaitu Rusman (2009:248) yang memaparkan proses pembelajaran dengan menggunakan CTL harus mempertimbangkan karakteristik-karakteristik : (1) kerja sama, (2) saling menunjang, (3) menyenangkan dan tidak membosankan, (4) belajar dengan bergairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa kritis guru kreatif, (10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, (11) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan praktikum, karangan siswa, dan lain-lain. Kurikulum dan pengajaran yang didasarkan pada strategi pembelajaran konstekstual harus disusun untuk mendorong lima bentuk pembelajaran penting: Mengaitkan, Mengalami, Menerapkan, Kerjasama, dan Mentransfer.
  9. Mengaitkan: Belajar dalam konteks pengalaman hidup, atau mengaitkan. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru. Kurikulum yang berupaya untuk menempatkan pembelajaran dalam konteks pengalaman hidup harus bisa membuat siswa memperhatian kejadian sehari-hari yang mereka lihat, peristiwa yang terjadi di sekitar, atau kondisi-kondisi tertentu, lalu mengubungan informasi yang telah mereka peroleh dengan pelajaran kemudian berusaha untuk menemukan pemecahan masalah terhadap permasalahan tersebut.
  10. Mengalami: Belajar dalam konteks eksplorasi, mengalami. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan-bahan dan untuk melakukan bentuk-bentuk penelitian aktif.
  11. Menerapkan: Menerapkan konsep-konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat bagi diri siswa. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistik dan relevan.
  12. Kerjasama: Belajar dalam konteks berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan siswa lain adalah strategi pengajaran utama dalam pengajaran kontekstual. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari materi, juga konsisten dengan dunia nyata. Seorang karyawan yang dapat berkomunikasi secara efektif, yang dapat berbagi informasi dengan baik, dan yang dapat bekerja dengan nyaman dalam sebuah tim tentunya sangat dihargai di tempat kerja. Oleh karena itu, sanat penting untuk mendorong siswa mengembangkan keterampilan bekerja sama ini.
  13. Mentrasfer: Belajar dalam konteks pengetahuan yang ada, atau mentransfer, menggunakan dan membangun atas apa yang telah dipelajari siswa. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.
I. Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual
            Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya.
            Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya.
            Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya. Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.
              Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar, Nyatakan tujuan umum pembelajarannya, Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran. 

2. Model Pembelajaran Kooperatif
A. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
           Usaha-usaha guru dalam membelajarkan siswa merupakan bagian yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan. Oleh karena itu pemilihan berbagai metode, strategi, pendekatan serta teknik pembelajaran merupakan suatu hal yang utama. Menurut Eggen dan Kauchak dalam Wardhani(2005), model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu pembelajaran. Pedoman itu memuat tanggung jawab guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan guru adalah model pembelajaran kooperatif.
             Apakah model pembelajaran kooperatif itu? Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok.Setiap siswa yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang dan rendah) dan jika memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Nur (2000), semua model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan. Struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan struktur tugas, struktur tujuan serta struktur penghargaan model pembelajaran yang lain.
            Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial. 

B. Prinsip Dasar Dan Ciri-Ciri Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Nur (2000), prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
a. Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya.
b. Setiap anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa semua anggota
c. kelompok mempunyai tujuan yang sama.
d. Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
e. Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi.
f. Setiap anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
g. Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Sedangkan ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
a. Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender.
c. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu.
             Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain. 

C. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Terdapat 6(enam) langkah dalam model pembelajaran kooperatif.
a. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa.
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa.
b. Menyajikan informasi.
Guru menyajikan informasi kepada siswa.
c. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar.
Guru menginformasikan pengelompokan siswa.
d. Membimbing kelompok belajar.
Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja siswa dalam kelompok kelompok belajar.
e. Evaluasi.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan.
f. Memberikan penghargaan.
Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok. 

3. Model Pembelajaran Konstruktivisme
A. Pengertian Model Pembelajaran Kontruktivis
               Konstruktivisme dalam arti dasar adalah membangun. Dimana yang dibangun adalah konsep/materi yang akan dipelajari, yang mana konsep tesebut dibangun oleh guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran kostruktivisme di sini berarti suatu cara dimana individu atau anak didik tidak sekedar mengimitasi dan membentuk bayangan dari apa yang diamati atau yang diajarkan guru, tetapi secara aktif individu atau anak didik itu menyeleksi, menyaring, memberi arti dan menguji kebenaran atas informasi yang diterimanya.
              Dalam model ini, peserta didik dianjurkan untuk bertukar fikiran melalui tahap pencetusan ide. tahap ini juga dapat merangsang peserta didik meninjau semula ide asal mereka. Dalam tahap penstrukturan semula ide, guru dianjurkan merancang aktivitas yang sesuai untuk membantu peserta didik mengubah idea asal mereka. Peserta didik diberi peluang untuk menggukakan ide asal mereka sendiri dan juga idea rakan-rakan mereka. Ide baru yang dikeluarkan oleh peserta didik sendiri biasanya lebih mudah diterima oleh mereka jika sekiranya ide tersebut mudah difahami dan berguna. Dalam tahap penggunaan ide, peserta didik boleh menggunakan ide baru mereka untuk menyelesaikan masalah dan menerangkan fenomena yang berkaitan dengan ide-ide itu. tahap mengingat kembali merupakan tahap terakhir. Dalam tahap ini peserta didik membandingkan ide asal mereka dengan ide baru dan merenung kembali proses pembelajaran yang telah mengakibatkan perubahan ke atas ide mereka. Fasa ini juga dapat memperkembangkan kemahiran meta kognitif.
              Model pembelajaran konstruktivistik adalah salah satu pandangan dari proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran (memperoleh pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif dapat diselesaikan hanya melalui pengetahuan yang akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalaman dari interaksi dengan lingkungan. Konflik kognitif terjadi ketika interaksi antara konsepsi awal sudah memiliki siswa dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga perubahan yang diperlukan/modifikasi untuk mencapai keseimbangan struktur kognitif. Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibuat atau terbangun di pikiran siswa sendiri ketika ia mencoba untuk mengatur pengalaman barunya berdasarkan kerangka kognitif yang ada dalam pikiran, sehingga pembelajaran matematika adalah proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa itu sendiri melalui pengalaman transformasi individu siswa. Selain itu, pentingnya pemecahan masalah keterampilan, terutama ketika siswa bekerja atau belajar di bahan lain, akan memerlukan perubahan dalam proses pembelajaran.
Tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
  1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
  2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan jawaban Anda sendiri.
  3. Membantu siswa untuk mengembangkan wawasan dan pemahaman konsep secara penuh.
  4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang independen.
  5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana untuk mempelajarinya
B. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah :
  1. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
  2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
  3. Murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
  4. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar
  5. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
  6. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
  7. Mencari dan menilai pendapat siswa
  8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
              Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
C. Lima Fasa Model Konstruktivisme
Fasa-fasa pengajaran berasaskan model konstruktivisme 5-fasa seperti berikut:
Bil
Fasa
Tujuan/Kegunaan
Kaedah
I
Orientasi
Menimbulkan minat dan menyediakan suasana
Awali penyelesaikan masalah sebentar, tunjuk cara oleh guru, tayangan filem, video dan keratan akhbar
II
Pencetusan Idea
Supaya murid dan guru sedar tentang idea terdahulu
Awali, perbincangan dalam kumpulan kecil, pemetaan konset dan laporan
III
Penstrukturan semula idea
i. Pernjelasan dan pertukaran
ii. Pendedahan kepada situasi konflik
iii. Pembinaan idea baru
iv. Penilaian



Mewujudkan kesedaran tentang idea alternatif yang berbentuk saintifik.
Menyedari bahawa idea-idea sedia ada perlu diubahsuai, diperkembangkan atau diganti dengan idea yang lebih saintifik.
Mengenalpasti idea-idea alternatif dan memeriksa secara kritis idea-idea sedia ada sendiri
Menguji kesahan idea-idea sedia ada
Pengubahsuaian, pemgembangan atau penukaran idea
Menguji kesahan untuk idea-idea baru yang dibina
Perbincangan dalam kumpulan kecil dan buat laporan
Perbincangan, pembacaan, input guru.
Amali, kerja projek, eksperimen, tunjukcara guru

IV
Penggunaan idea
Pengukuhan kepada idea yang telah dibina dalam situasi baru dan biasa
Penulisan sendiri kerja projek
V
Renungan kembali
Menyedari tentang perubahan idea murid. Murid dapat membuat refleksi sejauh manakah idea asal mereka telah berubah.
Penulisan kendiri, perbincangan kumpulan, catatan peribadi dan lain-lain.

D. Proses Belajar Dalam Pandangan Konstruktivisme.
Proses belajar dari pandangan contructivistic dan dari aspek-aspek penelitian, peran guru, sarana belajar, dan evaluasi pembelajaran (Budiningsih, 2008:58).
  1. Proses pembelajaran konstuktivisme
             Konseptual proses belajar jika dilihat dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang masuk dalam satu arah dari luar ke dalam pengalaman siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara besar struktur kognitif. Lebih kegiatan belajar dalam hal proses daripada dalam hal memperoleh pengetahuan tentang fakta-fakta yang penting-off.
  • Peran siswa.
            Menurut pandangan ini belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan harus dilakukan oleh penelitian. Siswa harus secara aktif melakukan kegiatan, berpikir aktif, penyusunan, dan memberi makna pada hal-hal yang sedang dipelajari. Guru harus mengambil inisiatif untuk mengatur lingkungan yang optimal yang memberikan kesempatan untuk penelitian. Tetapi pada akhirnya yang paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
  • Peran guru
           Dalam pendekatan ini peran guru atau pendidik membantu untuk membuat proses membangun pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang sudah memiliki, tetapi untuk membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
  • Belajar alat
          Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam belajar siswa adalah aktivitas membangun pengetahuannya sendiri. Semuanya seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
  • Evaluasi
           Pandangan ini menunjukkan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi realitas, konstruksi pengetahuan, serta kegiatan lain yang didasarkan pada pengalaman. Model pembelajaran konstruktivis biasanya paling tepat bila diterapkan pada pelajaran sains, salah satunya adalah matematika. Ambil contoh yang paling mudah, yaitu dengan adanya matematika dikenal sebagai teorema Pythagoras. Mungkin teorema Pythagoras tidak asing bagi kita, dan bahkan mungkin sudah sering menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di antara teorema ada banyak matematika, teorema ini merupakan salah satu teorema yang cukup terkenal. Bahan ini sudah dikenal sejak siswa SMP mereka sekolah tinggi bahkan mungkin SD. Dengan model pembelajaran konstruktivistik, siswa diharapkan dapat membangun pemahaman baru tentang pemahaman yang sebelumnya telah dimiliki. Misalnya, dengan mencari asal-usul formula ini didapat. Dalam pendekatan konstruktivis siswa juga dituntut mampu menciptakan sub-sub pertanyaan baru sebagai langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan subjek teorema Pythagoras, sehingga siswa tidak akan bingung dan mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya. Jika pendekatan konstruktivis dapat dikuasai studi luar negeri siswa hasil siswa dalam matematika dapat ditingkatkan.
  1. Kelebihan Metode Konstruktivisme
    1. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
    2. pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
    3. pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
    4. pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
    5. pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
    6. pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
    7. Kekurangan Metode Konstruktivisme
a) Siswa membangun pengetahuan mereka sendiri, tidak jarang bahwa konstruksi siswa tidak cocok dengan pembangunan ilmuwan yang menyebabkan kesalahpahaman.
b) Konstruktivisme pengetahuan kita menanamkan bahwa siswa membangun sendiri, hal ini pasti memakan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda.
c) Situasi dan kondisi masing-masing sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki infrastruktur yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa.
4. Model Pembelajaran Basis Masalah
    1. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
          Pendidikan pada abad ke-21 berhubungan dengan permasalahan baru yang ada di dunia nyata. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) berkaitan dengan penggunaan inteligensi dari dalam diri individu yang berada dalam sebuah kelompok orang, atau lingkungan untuk memecahkan masalah yang bermakna, relevan, dan kontekstual.
             Hasil pendidikan yang diharapkan meliputi pola kompetensi dan inteligensi yang dibutuhkan untuk berkiprah pada abad ke-21. Pendidikan bukan hanya menyiapkan masa depan, tetapi juga bagaimana menciptakan masa depan. Nah, apakah sebenarnya Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) itu ?. Berikut akan dibahas defenisi dari medel ini berdasarkan pendapat dari beberapa ahli.
           Boud dan Feletti dalam Rusman (2010) mengemukakan bahwa Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah inovasi yang paling signifikan dalam pendidikan. Margetson dalam Rusman (2010) mengatakan bahwa Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) membantu untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif, serta memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok, dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding model lain.
           “Problem Based Learning (PBL) is a method of learning in which learners first encounter a problem followed by a systematic, learned centered inquiry and reflection process”. Artinya Problem Based Learning (PBL) adalah suatu metode pembelajaran dimana pembelajar bertemu dengan suatu masalah yang tersusun sistematis; penemuan terpusat pada pembelajar dan poses refleksi (Teacher and Edcucational Development ,2002).
             Menurut Jodion Siburian, dkk dalam Utami (2011), Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) merupakan salah satu model pembelajaran yang berasosiasi dengan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran artinya dihadapkan pada suatu masalah, yang kemudian dengan melalui pemecahan masalah, melalui masalah tersebut siswa belajar keterampil-keterampilan yang lebih mendasar.
              Selain itu, Muslimin dalam Utami (2011) mengatakan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah (problem based learning) adalah suatu model untuk membelajarkan siswa untuk mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan memecahkan masalah, belajar peranan orang dewasa yang otentik serta menjadi pelajar mandiri. Pembelajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi yang sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan keterampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata dan menjadi pembelajaran yang mandiri.
            Berdasarkan beberapa pendapat ahli, maka dapat disimpulkan bahwa Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah model pembelajaran yang diawali dengan pemberian masalah kepada peserta didik dimana masalah tersebut dialami atau merupakan pengalaman sehari-hari peserta didik. Selanjutnya peserta didik menyeleseikan masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru. Secara garis besar PBL terdiri dari kegiatan menyajikan kepada peserta didik suatu situasi masalah yang autentik dan bermakna serta memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.

B. Teori Belajar Yang Melandasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
            Ada beberapa teori belajar yang melandasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) sebagai berikut : (Rusman, 2010)
1. Teori Belajar Konstruktivisme
            Dari segi pedagogis, Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) didasarkan pada teori konstruktivisme dengan ciri :
a. Pemahaman diperoleh dari interaksi dengan skenario permasalahan dan lingkungan belajar.
b. Pergulatan dengan masalah dan proses inquiry masalah menciptakan disonansi kognitif yang menstimulasi belajar.
c. Pengetahuan terjadi melalui proses kolaborasi negoisasi sosial dan evaluasi terhadap keberadaan sebuah sudut pandang.
2. Teori Belajar dari Piaget
           Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha ingin memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu ini, menurut Piaget dapat memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka mengenai lingkungan yang mereka hayati. Pada saat mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu, pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka dan memotivasinya untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
3. Teori Belajar Bermakna dari David Ausubel
            Suparno dalam Rusman (2010) mengatakan bahwa Ausubel membedakan antara belajar bermakna (meaningfull learning) dengan belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna merupakan proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar. Belajar menghafal, diperlukan bila seseorang memperoleh informasi baru dalam pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahuinya. Kaitannya dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dalam hal mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
4. Teori Belajar Vigotsky
            Perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang serta ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan. Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu berusaha mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya kemudian kemudian membangun pengertian baru. Ibrahim dan Nur dalam Rusman (2010) Vigotsky meyakini bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Kaitannya dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dalam hal mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa melalui kegiatan belajar dalam interkasi sosial dengan teman lain.
5. Teori Belajar dari Albert Bandura
             Model Pembelajaran Berbasis Masalah juga berlandaskan pada social leraning theory Albert Bandura, yang fokus pada pembelajaran dalam konteks sosial (social context). Teori ini menyatakan bahwa seorang belajar dari orang lain, termasuk konsep dari belajar observasional, imination dan modeling. Prinsip umum dari social learning theory selengkapnya dinyatakan oleh Armrod (1999) sebagai berikut:
General principles of social learning theory follows:
  1. People  can learn by observing the behavior is of others and the autcomes of those behaviors.
  2. Learning can occur without a change in behavior. Behaciorists say that learning has to be represented by a permanent change in behavior, in contrast social learning theorists say that because people can learn thourg observation alone, their learning may not necessarily be shown in their performance. Learning may or may not result in a behavior change.
  3. Cognition plays a role in learning. Over the last 30 years social learning theory has become increasingly cognitive in its interpretation of human learning. Awareness and expectation of future reinforcements or punishments can have a major effect on the behaviors that people exhibit.
  4. Social learning theory can be considered a bridge or a transition between behaviorist learning theories and cognitive learning theories.
6. Teori Belajar Jerome S. Bruner
            Metode penemuan merupakan metode dimana siswa menemukan kembali, bukan menemukan yang sama sekali benar-benar baru. Belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik, berusaha sendiri mencari pemecahan masalah serta didukung oleh pengetahuan yang menyertainya, serta menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna (Dahar dalam Rusman, 2010).
           Bruner juga menggunakan konsep scaffolding dan interaksi sosial di kelas maupun di luar kelas. Scaffolding adalah suatu proses untuk membantu siswa menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan guru, teman atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.
            Kaitan intelektual antara pembelajaran penemuan dan belajar berbasis masalah sangat jelas. Pada kedua model ini, guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan siswa menentukan atau mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada belajar berbasis masalah atau penemuan, guru mengajukan pertanyaan atau masalah kepada siswa dan memperbolehkan siswa untuk menemukan ide dan teori mereka sendiri.
7. Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
           Menurut Fibrayir (2012), berbagai pengembang pembelajaran berbasis masalah telah menunjukkkan ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut.
1. Pengajuan masalah atau pertanyaan
           Pengajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan situasi kehidupan nyata yang autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu. Menurut Arends (dalam Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut.
  • Autentik. Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
  • Jelas. Yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
  • Mudah dipahami. Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
  • Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
  • Bermanfaat. Yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
Tahapan
Tingkah Laku Guru
Tahap 1:
Orientasi siswa
kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan logistik
yang dibutuhkan, memotivasi siswa
agar terlibat pada pemecahan masalah
yang dipilihnya.



Tahap 2:
Mengorganisasi
siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan
dan mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah
tersebut.


Tahap 3:
Membimbing
Penyelidikan
individual dan
kelompok



Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen, untuk
mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalahnya



Tahap 4:
Mengembagkan dan
menyajikan hasil
karya


Guru membantu siswa merencanakan
dan menyiapkan karya yang sesuai
seperti laporan, video dan model serta
membantu mereka berbagi tugas
dengan temannya.



Tahap 5:
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah


Guru membantu siswa melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan proses-proses
yang mereka gunakan.



           Meskipun pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika, Ilmu-ilmu Sosial), masalah yang akan diselidiki telah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
3. Penyelidikan autentik
            Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
4. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
             Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer.
             Pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama satu sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir.
            Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah sebagai berikut: (Rusman, 2010).
Tabel 1. Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
            Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan sebagai berikut : (Ahsan, Arfiyadi, 2012)

Ø Keunggulan

a. Merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b. Dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
c. Dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa.
d. Dapat membantu siswa bagaimana mentranfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
e. Dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan.
f. Pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.
g. Dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir lebih kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan.
h. Dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
i. Dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
j. Dapat membentuk siswa untuk memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, yang dibarengi dengan kemampuan inovatif dan sikap kreatif akan tumbuh dan berkembang.
k. Dengan model pembelajaran berbasis masalah, kemandirian siswa dalam belajar akan mudah terbentuk, yang pada akhirnya akan menjadi kebiasaan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ditemuinya dalam aktivitas kehidupan nyata sehari-hari ditengah-tengah masyarakat.

Ø Kelemahan

1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan model pembelajaran PBL ini membutuhkan cukup waktu untuk persiapan dan pelaksanaannya.
3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
BAB III
PENUTUTUP
Untuk menjadi guru yang profesional diperlukan model pembelajaran dalam proses mengajar supaya dapat mengembangkan skill dan memaksimalkan potensi sebagai guru juga menjadikan kualitas peserta didik menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail. (2003). Media Pembelajaran (Model-model Pembelajaran). Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SLTP.
Sri Wardhani. (2006). Contoh Silabus dan RPP Matematika SMP. Yogyakarta: PPPG Matematika.
Tim PPPG Matematika. (2003). Beberapa Teknik, Model dan Strategi Dalam
Pembelajaran Matematika. Bahan Ajar Diklat di PPPG Matematika, Yogyakarta: PPPG Matematika.
Widowati, Budijastuti. 2001 Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya
2009-26-September. Model belajar dan pembelajaran berorientasi kompetensi siswa : www.pkab.wordpress.com / (diakses, 20:00)
Dimyati, Dr, Mudjiono, Drs. Belajar dan pembelajaran : Rineka Cipta
Suryasubrata.1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
A.M. Muliono (2003), “Pembelajaran”, Kompas 26/7/03.
Sardjito, Drs. Perencanaan Pembelajaran (suatu modul perencanaan pembelajaran)


























































































































































































































Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment